Tafsir Ayat Ahkam Hadhonah
Untuk Memenuhi Tugas Tafsir Ahkam II
Dosen : Muh Julijanto M. Ag
Oleh :
M Fabri Rahman (26.10.2.2.011)
Fakultas Syari’ah
Al-Ahwal Asy-Syakhsyiyah
Institut Agama Islam Negeri Surakarta
2012
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar belakang
Ilmu Tafsir merupakan ilmu yang penting
dipelajari dalam Islam. Sebab telah kita ketahui bahwa Al Quran sebagai
tuntunan dan pedoman hidup manusia diturunkan dalam Bahasa Arab. Kita bukan
Bangsa Arab, untuk itu dalam memahami Al Quran perlu untuk mempelajari Ilmu
Tafsir terlebih dahulu, mengingat bahwa hukum serta syariat dalam islam tidak
mungkin untuk dilaksanakan sebelum dipahami benar maksudnya dan disingkap
rahasia-rahasia di dalamnya demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
Islam melindungi dan memberikan hak hak kepada semua
manusia tanpa membeda bedakan untuk menjalankan kehidupan secara layak.
Diantara kehidupan yang harus menjadi perhatian orang dewasa adalah nasib anak.
Karena anak adalah manusia yang masih kecil, baik dari segi fisik, pikiran dan
kejiwaannya. Mereka membutuhkan nafkah dari orang lain, perlindungan hidup dan pendidikan. Setiap anak
yang lahir kedunia ini tidak bernasib sama.
Ada anak yang mendapatkan hak haknya dari kedua
orangtuanya. Namun ada juga yang dikarenakan persoalan ekonomi yang menghimpit
kedua orangtuanya atau ditelantarkan oleh ibu yang melahirkan dengan dibuang
karena merasa malu hasil dari kumpul kebo atau sebab lainnya. Maka anak harus
dirawat dan dibesarkan oleh orang lain yang terpanggil hatinya untuk membiayai
semua kebutuhan hidup anak. Anak yang bukan diasuh oleh orang tua kandungnya
tersebut disebut anak pungut atau anak angkat dan orang yang memungut atau
mengangkatnya disebut bapak asuh.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat di ambil
rumusan masalah sekaligus pembahasan dalam permasalahan berikut :
- Bagaimana pemeliharaan anak yatim?
- Bagaimana penyerahan harta warisan kepada anak yatim?
- Apakah hokum dalam mengadopsi dalam islam?
Bab II Pembahasan
A. Surat An Nisaa 5-6
a) An Nisaa Ayat 5-6
wur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# @yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ (#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuø9$# #Ó¨Lym #sÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷$$sù öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( wur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçy9õ3t 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uù=sù ( `tBur tb%x. #ZÉ)sù ö@ä.ù'uù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4
#sÎ*sù öNçF÷èsùy öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkôr'sù öNÍkön=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7Å¡ym ÇÏÈ
Artinya
:
5.
Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum Sempurna akalnya[1], harta (mereka yang ada
dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka
belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik.
6. Dan ujilah[2] anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah
cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin,
Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian itu).
b) Kosakata
As-Sufaha ä!$ygxÿ¡9$#Merupakan
bentuk Jamak dari safih, berasal dari kata kerja safiha - yasfahu, berarti
‘tidak memiliki kelayakan atau pengetahuan’, ‘bodoh’, ‘berakhlak buruk’.
Artinya kata dasarnya enteng, lemah dan lain-lain. Saubun safih berarti
pakaian jelek tenunanya. Ramahun tasaffahat artinya tombak-tombak yang
miring. Denga demikian, safih berarti
‘orang yang tidak memiliki kemampuan dan penmgetahuan, yang bodoh atau yang
berakhlak buruk’.dengan kaitan ayat yang dimaksud sufaha menunjukkan
kepada anak-anak yatim yang masih dalam keadaan kurang pengetahuan atau
kemampuannya untuk mengenlola harta yang menjadi haknya. Walaupun mereka sudah
cukup umur untuk mendapatkan harta yang menjadi haknya, namun karena keadaannya
itu sebaiknya hartanya itu tetap dikelola oleh waliny, karena di khawatirkan
hartanya itu akan habis tanpa ada manfaatnya.
c) Munasabah
Ayat yang lalu
adalah perintah untuk mengembalikan harta anak yatim yang dewasa, tidak
mengawininya bila khawatir tidak berlaku adil terhadapnya dan perintah
memberikan mahar kepada istri. Ayat ini menerangkan tentang syarat waktu
penyerahan harta anak yatim tersebut.
d) Tafsir
Ayat (5) para
wali dan pelaksanaan wasiat (wasi) yang memelihara anak yatim agar
penyerahan harta anak yatim yang ada dalam kekuasaanya apabila anak yatim itu
telah dewasa dan dapat menjaga hartanya. Apabila belum mampu maka tetaplah
harta tersebut di pelihara dengan sebaik-baiknya karena harta adalah modal
kehidupan.
Segala
keperluan anak yatim seperti pakaian, makan, pendidikan, pengobatan dan
sebagainya dapat diambil dari keuntungan harta itu apabila harta tersebut
diusahakan (diinvestasikan). Kepada mereka hendalklah bekata lemah lembut penuh
kasih sayang dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
Al-Fakhurrazi berkata :” harta
adalah sesuatu yang dapat di ambil manfa’atnya serta di butuhkan oleh setiap
jenis manusia. Disebabkan kesatuan jenis ini maka baik sekali penasaban harta
orang-orang yang tak pandai memelihara hartanya kepada para walinya (
seolah-olah milik para wali itu ).[3]
Ayat (6) sebelum
harta diserahkan anak yatim, apabila mereka telah balig dan mampu dalam
menggunakan harta mereka terlebih dahulu kepada mereka diberikan ujian. Apakah
benar ia dapat memelihara dan menggunakany dengan baik. Sebagaimana di pahami
oleh mazhab Syafi’i. Mazhab hanafi mewajibkan wali menyerahkan harta pada umur
dewasa dengan syarat cerdas, mampu dan pada umur 25 tahun walaupun dalam
keadaan tidak cerdas.
Janganlah para
wali ikut mengambil atau memekan harta anak yatim secara berlebihan. Apabila
wali termasuk orang yang mampu henddaklah ia menahan diri agar tidak ikut
memekan harta anak yatim tersebut. Tetapi wali dalam keadaan kekurangan, maka
ia boleh memakanya secara baik dan tidak melampui batas.
Apabila
maasa penyerahan sudah tiba, maka dilakukan dihadapan dua orang saksi untuk
menghindari adanya perselisihan dikemudian hari. Allah selalu menyaksikan dan
mengetahui apa yang dilakukan oleh manusia. Tidak ada hal yang tersembunyi bagiNya baik di bumi
maupun di langit.
e) Kesimpulan
1. Dilarang menyerahkan harta anak yatim
selam ia masih dalam keadaan belum dapat mengelola harta dengan baik meskipun
ia telah balig.
2. Wajib bagi wali memerlakukan mereka
dengan penuh kasih sayang sepetrti anak mereka sendiri.
3. Jika anak yatim telah dewasa, maka
untuk menyerahkan hartanya harus menguji kecerdasanya terlebihdahulu.
4. Harus ada dua orang saksi untuk
menyaksikan serah terima harta tersebut.
5. Bagi wali yang mampu dilarang memakan
harta anak yatim, sedang bagi yang tidak mampu diperkenankan mengambil harta
tersebut sekedar keperluan dan tidak berlebihan.[4]
B. Surat An Nisaa 7-10
a) An Nisaa 7-10
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uèYx. 4 $Y7ÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ #sÎ)ur u|Øym spyJó¡É)ø9$# (#qä9'ré& 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur Nèdqè%ãö$$sù çm÷YÏiB (#qä9qè%ur óOçlm; Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÑÈ |·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy ÇÒÈ ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqn=óÁuyur #ZÏèy ÇÊÉÈ
7. Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.
8. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir
kerabat[5], anak yatim dan orang
miskin, Maka berilah mereka dari harta itu[6] (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
9. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
b) Kosakata
pÍhè $¸ÿ»yèÅÊ
Dalam Al-Qur’an
sekurangnya disebut dua kali dalam surat Al-Baqarah 226. Zurriyayah du’afan berarti
anak-anak (keturunan) yang masih kecil-kecil, dalam arti belum dewasa.
Sedangkan Zurriyayah du’afan berarti keturunan yang serba lemah, lemah
fisik, mental, sosial, ekonomi, ilmu pengtahuan, spiritual dan lain-lain yang
menyebabkan mereka tidak mampu menjalankan fungsi utama manusia, baik sebagai
khalifah maupun sebagai makhlikNya yang harus beribadah kepadaNya. Tegasnya,
Allah berpesan kepada generasi yangb tua jangan sampai generasi penerus yang
akan melanjutkan perjuangan justru generasi yang tak berdaya, yang tidak dapat
mengembangkan fungsi dan tanggung jawabnya. Upaya pemberdayaan generasi penerus
terletak di pundak generasi sebelumnya, orang tua dan masyarakat.
c) Munasabah
Ayat yang
terdahulu menjelasskan tentang haram memakan harta anak yatim dan diperintahkan
menyerahkan semua hartanya kepadanya bila telah dewasa dan larangan mengambil
mahar perempuan yang sudah dinikahi tanpa mahar. Maka dalam ayat ini dijelaskan
tentang perlakuan terhadap anak yatim dan hartanya.
d) Sebab Nuzul
Diriwayatkan,
ketika aus bin sabit al-Ansari meninggal dunia, ia meninggalkan seorang istri
yaitu ummu kuhhah dan tiga orang anak perempuan. Kemudian dua orang anak paman
aus yakni suwaid dan arafah melarang memeberikan harta warisan itu kepada istri
dan ketiga anak perempuannya, sebab menurut adat jahiliah anak-anak dan
perempuan tidak mendapat warisan apa pun karena tidak sanggup menunt balas (
bila terjadi pembunuhan dan sebagainya ). Kemudian istri Aus mengadu kepada Rasulullah saw, lalu
Rasul memanggil Suwaid dan ‘Arfatah. Keduanya menerangkan kepada Rasulullah
bahwa anak-anakny tidak dapat menunggang kuda, tidak sanggup memikul beban dan
tidak bias pulang menghadapi musuh. Kami bekerja, sedang mereka tidak berbuat
apa-apa. Maka turun lah ayat ini mentapkan haknperempuan dalam menerima warisan
sebagaimana dijelaskan dalam ayat waris.
e) Tafsir
(7) apabila anak yatim menerima harta dari
kedua orang tuanya atau kerabatnya yang lain mereka sama mempunyai bagian dan
hak. Masing-masing mereka akan mendapatkan bagian yang telah ditentukan oleh
Allah. Tak seorang pun dapat mengambil dan mengurangi hak mereka.
(8) dan apabila pada waktu diadakan
pembagian harta warisan ikut pula kerabat yang tidak berhak mendapatkan
warisan, begitu pula fakir miskin dan anak yatim, maka kepada mereka diberikan
sedikit sebagai hadiah menurut keikhlasan ahli waris agar mereka tidak hanya
menyaksikan saja ahli waris mendapatkan bagian. Dan seraya diucapkan kata-kata
yang menyenangkan hati mereka. Ini sangat bermanfaat untuk menjaga silaturahmi
dan persaudaraan agar tidak agar tidak diputuskan dengan hasad dan dengki. Di
samping itu, bagi para ahli waris hal ini menjadi rasa syukur kepada Allah.
(9) orang yang telah mendekati akhir
hayat diperingatkan mereka untuk
memikirkan, jangan kan meninggalkan anak-anak dan keluarga yang lemah terutama
tentang kesejahteraan mereka di kemudian hari. Untuk itu selalu beertakwa dan
mendekatkan diri kepada Allah, selalu berkata lemah lembut,terutama anak yatim
yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka sebagai anak kandung
sendiri.
(10)
sekali lagi peringatan ini diberikan orang yang tidak berlaku adil dan
zalim yakni tidak mengindahkan peraturan yang telah ditetapkan Allah, mereka
seakan-akan memenuhi perut mereka dengan api.
f) Kesimpulan
- Keluarga yang ditinggal mati, abik perempuan dan laki-laki, sama-sama mempunyai hak menerima warisan sebagai mana ditetapkan dalam ayat kewarisan.
- Dianjurkan member hadiah kepada kerabat, anak yatim dan fakir miskin pada saat pembagian warisan yang kebetulan mereka tidak mendapat bagian dari harta warisan.
- Sebelum meninggal dunia dianjurkan kaum muslimin memikirkan kehidupan anak-anaknya di kemudian hari agar tidak terlantar.[7]
C. Surat Al Ahzab 4-5
a) Al Ahzab 4-5
$¨B @yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur @yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur @yèy_ öNä.uä!$uÏã÷r& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºs Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)t ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgt @Î6¡¡9$# ÇÍÈ öNèdqãã÷$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JÏm§ ÇÎÈ
4. Allah sekali-kali
tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak
menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[8] itu sebagai ibumu, dan dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang
demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang
Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).
5.
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[9]. dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b) Kosakata
تظهرون :
Berdzihar. Orang-orang Arab di zaman
jahiliah dahulu menceraikan istri-istri mereka dengan kalimat tersebut. Dzihar
bagi mereka adalah talak, setelah Islam datang mereka di larang berdzihar dan
mewajibkan membayar kafarat terhadap mereka yang mendzihar istrinya.
أدعيا ءكم :
Bentuk jamak dari kata دعيّ yaitu orang yang di panggil “anak”
yaitu “adopsi” atau pengangkatan anak.
موا لكم bentuk jamak مو لىdari kata و لى adalah
adanya dua hal/pihak atau lebih yang tidak suatu pun yang berada dalam keduanya.[10]
c) Munasabah
Allah menjelaskan tentang dzihar dan adopsi anak dalam
ayat tersebut terdapat hubungan dengan ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang
perkara yang bathil yang diada-adakan oleh orang jahiliyah.
d) Sebab Nuzul
Ayat (4) ini terrun
berkenaan dengan pernikahan Raulullah dengan Zainab binti Jahsy, janda Zaid bin
Harisah, hamba sahaya Rasulullah yang sudah beliau merdekakan dan dijadikan
anak angkat sebelum ia menjadi nabi. Orang yahudi dan orang munafik mencela
Rasulullah karena menikahi janda anaknya, padahal Rasulullah melarang
pernikahan yang sama untuk orang lain. Maka turunlah ayat ini.[11]
e) Tafsir
Dalam ayat ini Allah menghubungkan keturunan (nasab)
anak-anak angkat kepada dua nasab, pertama kepada ayahnya, kedua kepada wala’.
Dan Allah menjadi wala’ dengan nikmat. Rasulullah bersabda : ”sesungguh nyawala’ adalah bagi orang yang
memerdekakan.
Akhir uraian ayat di atas adalah larangan mempersamakan status hukum anak
angkat dengan anak kandung. Maka ayat ini memberi tuntunan dengan menyatakan
bahwa : panggilah mereka yakni anak-anak angkat itu dengan menggandengkan
namanya dengan nama bapak-bapak kandung mereka, itulah yang lebih dekat untuk
berlaku adil pada sisi dan pandangan Allah, dan jika kamu tidak mengetahuinya
siapa atau nama bapak-bapak mereka dengan sebab apapun, maka panggilah mereka
sebagai saudara-saudara kamu seagama bila anak angkat itu telah memeluk islam
dan yakni atau maula-maula kamu yakni orang-orang dekat kamu. Dan tidak ada
dosa atas kamu terhadap apa yang kamu khilaf padanya antara lain bila kamu
memanggilnya tidak seperti yang kami perintahkan ini, tetapi yang ada dosanya
ialah apa yang disengaja oleh hati kamu. Dan adalah Allah senantiasa Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
f) Kandungan Hukum
- Islam telah menghapuskan tradisi dzihar itu dan memandangnya sebagai suatu kedustaan dan kesesatan, Islam mengharamkan dzihar tetapi menjadikan keharamannya itu mempunyai bats waktu yaitu sampai si suami membayar kafarat atas dzihar yang diucapkannya.
- Islam juga mengharamkan adopsi, karena terkandung penasaban seorang anak kepada seorang yang bukan bapak kandungnya sendiri.
- Penerimaan seseorang sebagai anak sendiri yang di perkenankan oleh Islam tidak ada hubungannya sama sekali dengan adopsi yang di haramkan Islam, sebab syarat bagi halalnya penerimaan yang sah ialah bahwa orang yang menerima anak itu mengetahui bahwasanya yang di terima sebagai anaknya itu adalah anaknya. Adapun adopsi yang di larang ialah dengan pengetahuan seseorang bernasab kepada orang yang bukan ayahnya dengan pengetahuan penuh bahwa ia bukan anaknya.
g) Kesimpulan
- Anggapan bahwa orang yang cerdik pandai mempunyai dua hati dalam rongganya adalah dugaan yang bathil yang bertentangan dengan agama dan akal sehat.
- Kepercayaan bahwa istri yang di dzihar menjadi menjadi sebagai ibu kandung tidak lain hanya dugaan buatan jahiliyah yang bodoh.
- Di haramkannya adopsi dalam Islam dan kewajiban memanggil anak-anak ngkatnya dengan menasabkan mereka kepada bapak kandungnya.
Daftar Pustaka
Kementrian
Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya, 2010, Jakarta : Lentera Abadi
Al-Rozi,
Fahruddin, Tafsir Fhar Al-Rozi, Dar Al-Fikr, Beirut, 1985.
Shihab, M.
Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Ibnu
Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Admin, 1987, Bairut : Dar al-Ilmiyyah
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari, Tafsir At-Thabari,
Jakarta : Pustaka Azzam, 2009
[1]
orang yang
belum Sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang
tidak dapat mengatur harta bendanya.
[2]Yakni: mengadakan
penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan
dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.
[3]
Tafsir ar-Rozi
jilid 9 hal. 184
[4]
Al Qur’an dan tafsirnya jilid
II hal. 119
[5]
kerabat di sini
maksudnya : kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka.
[6]
pemberian
sekedarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan.
[7]
Al Qur’an dan tafsirnya, jilid
II hal. 127
[8] zhihar ialah
perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti
punggung ibuku atau perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat
kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila dia Berkata demikian kepada
Istrinya Maka Istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi
setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan
istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).
[9]Maula-maula ialah seorang hamba
sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang Telah dijadikan anak angkat,
seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
[10]
Tafsir Al-Mishbah vol 11 hal. 223
[11]
Al-Qur’an dan tafsirnya jilid 7 hal. 611
Tidak ada komentar:
Posting Komentar